"Kita pernah merasa sangat bangga menjadi pegawai BI, dan seharusnya rasa itu tetap kita miliki"

(Agus Santoso)


duuuuh ...usaha kita bakalan macet laa, mbolui (rugi) lagi, mbolui lagi haa.... pigimana itu BI kok ngurus cien (uang rupiah) malah turun terus-terus begini haa..., bisnis jadi susah...kita orang jadi makin susah”. Walaupun mendengarnya sambil lalu, cukup terganggu juga telinga saya dengan ucapan tendensius seperti itu. Pada hari Minggu itu saya sedang jalan pagi bersama keluarga berkeliling Taman Monas dan kebetulan cukup dekat jaraknya dengan dua pria setengah baya keturunan Tionghoa yang berjalan di depan saya itu. Rupanya mereka ngobrol tentang kondisi bisnis mereka yang semakin hari semakin sulit. Rasa l’spirit de corps saya segera tergugah. Sebagai pegawai BI, saya segera menyurutkan langkah dan dengan sedikit melambat saya lantas menjaga jarak dan mengikuti mereka sambil menguping obrolannya. Pengen tahu, apa sih cerita mereka selanjutnya tentang kinerja Bank Indonesia. ”Ini informasi riil nih”, pikir saya.

Owe (saya) kira gonjang-ganjing ekonomi terus-terusan begini bukan melulu pengaruh ekonomi global, tapi lebih banyak karena pengaruh perobahan tatakota Jakarta, Koh”, jawab pria yang di sebelahnya. Oh, mungkin mereka berdua adalah kakak beradik, karena yang lebih muda memanggil ”Koh” (kakak lelaki) kepada pria yang satunya. ”Maksud lie (kamu) apa?”, kata yang lebih tua. ”Itu koh, owe pernah denger feng-shui Jakarta jadi jelek buat bisnis karena banyak dirobah-robah. Itu jalan Thamrin-Sudirman banyak perobahan dan emasnya BI juga sudah dipindah dari Gedung itu. Jadi Gedung BI itu cuma gedong kosong”, katanya sambil menunjuk ke arah Gedung BI Thamrin, Kantor Pusat BI, karya monumental Arsitek F. Silaban tahun 1962 itu. ”Ahh ... owe belum ngarti lah, maksud lie itu apa, feng-shui jelek pigimana sih...”, wajahnya seakan ingin tahu lebih jauh tentang kata-kata adiknya. ”Begini koh...”, kata sang adik dengan mimik serius. Dan mulailah ia bercerita tentang dampak feng-shui Jakarta terhadap perkembangan bisnis.

Konon ceritanya, di jaman Bung Karno dulu, supaya ibukota Jakarta bisa memberi berkah kemakmuran, pusat pemerintahan Jakarta perlu diubah, digeser dari Utara ke arah Selatan, dari yang semula berpusat di komplek Kota Tua, Musium Fatahilah dan Beos (Setasiun Kota) ke Istana Negara dan Lapangan Monas. Perencanaan ini didasarkan rumusan feng-shui.

Nah, Istana Negara itu diposisikan sebagai kepala liong (naga) yang menghadap ke arah Selatan, sedang menatap dan mengejar bola api emas yang ada di Tugu Monas, sedangkan untuk badan liong-nya, sengaja dibuatlah jalan Thamrin-Sudirman yang lebar dan punya empat kelokan ke arah Selatan, yaitu ke arah Kebayoran Baru. Kelokan badan liong yang pertama ada di Bundaran Bank Indonesia, yang ke dua di Bundaran Hotel Indonesia, yang ketiga di Jembatan Semanggi, dan yang ke empat, yaitu buntutnya ada di Bundaran Senayan.

Keempat kelokan itu didasarkan pada perhitungan pengaturan komposisi enerji yin-yang, yang disimbolkan dengan air dan api. Monas memberi energi ”yang”, sedangkan di Bundaran BI, Bundaran Hotel Indonesia, dan Bundaran Senayan dibuat gerbang air berenergi ”yin”. Areal dengan energi positif terbesar ada di Bundaran BI, karena selain kepala sang liong sedang mengejar bola kemakmuran yang dilambangkan dengan api emasnya Monas, sang liong juga sudah berhasil memeluk harta emas di perutnya, yaitu cadangan uang dan emas yang disimpan di Gedung BI Thamrin. Inilah lambang kemakmuran itu. Tapi sang liong ini adem, ini bukan liong galak, karena badannya mengitari air.

Jadi ketiga gerbang air itu membuat suasana jadi tenteram. Api Monas nyalanya tidak liar dan Tugu Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia selalu menyambut ramah rakyat yang datang. Sifatnya menenangkan. Rakyat yang berjalan kaki berduyun-duyun dari arah Selatan, disambut dengan air mancur dan lambaian tangan sepasang pemuda-pemudi yang meneriakkan ”Welcome to Jakarta”, dan jika mereka tiba di lapangan Monas, yang terbangkitkan adalah rasa kebanggaan bangsa merdeka dan semangat untuk terus berjuang, tetapi tetap, hatinya adem-ayem dan kepalanya dingin.

Sayangnya, energi (chi) yang positif ini kemudian rusak, karena banyaknya perubahan tatakota dengan alasan seremonial, tanpa mempertimbangkan harmoni energi yin-yang di sepanjang jalan itu. Pada tahun 1972, di Bundaran Senayan dibangun Patung Pemuda Membangun yang mengekspresikan gerak seorang pemuda berotot kekar dengan semangat menyala-menyala dan dengan wajah setengah berteriak, mengangkat tinggi obor yang apinya berkobar-kobar. Ini menjadikan buntut sang liong yang tadinya adem jadi berubah menjadi energi panas.

Pada tahun 1987, di Bundaran Air Mancur Bank Indonesia dibangun Patung Arjuna Wijaya. Patung itu menggambarkan salah satu episode perang Bharatayudha ketika Arjuna harus berperang dengan Adipati Karna yang notabene adalah saudaranya sendiri. Patung ini melukiskan Arjuna sedang merentangkan panah Pasopati yang sakti, yang berada di atas kereta perang dipacu saisnya, yaitu Batara Kresna. Kereta perang ini ditarik delapan ekor kuda yang berlari sangat kencang, menderu bagaikan angin, sehingga kudanya dibuat seperti terkoyak-koyak.

Energi perang saudara yang mengarah ke Selatan ini tentu mengganggu lingkungan energi di sekitarnya, khususnya di lingkungan BI. ”Begitu loh koh”, tegasnya. ”Makanya kalo owe sih nggak heran kalo BI jadi gonjang-ganjing melulu”, imbuhnya mencoba meyakinkan. Apalagi setelah cadangan emas dan gudang duitnya katanya sudah dipindah dari gedong di Thamrin itu, ya perutnya si liong jadi kosong. Dia bisa lapar, tapi bisa juga jadi enggak berdaya.

Energi perang saudara dari kereta perang Bharatayudha juga membuat rakyat yang datang dari Selatan berjalan kaki ke arah Utara (Istana) yang semula merasa damai disambut Tugu Selamat Datang, tiba-tiba jadi memanas dan merasa terancam panah Pasopatinya Arjuna dalam atmosphere peperangan yang membara. ”Kan kita orang jadi kayak mau ketabrak kereta kuda kan koh”, katanya sambil sedikit melompat membuang langkahnya ke kanan. Nah, pigimana koh kira-kira pandangan owe, betul apa enggak .....”

“Ah, payah lu, cape deeh”, saya bergumam sendiri. Kirain beneran. Ternyata cerita mereka hanya obrolan kosong ngalor ngidul belaka yang tidak perlu harus saya simak dengan serius. Kami lantas mempercepat langkah untuk segera menyusul dan meninggalkan mereka. Saya kemudian berkata kepada diri saya sendiri, ”Sebagai insan Bank Indonesia, lebih baik kita lebih tekun dan lebih serius dalam menangani pekerjaan kita sendiri, serta tetap menjaga hubungan yang harmonis dengan rekan sekerja kita. Daripada terpengaruh cerita-cerita ngaco seperti tadi, Uhh, untuk apa. Menuh-menuhin kepala aja?!”.

Kalau tentang patung dan monumen di sepanjang Jalan Thamrin-Sudirman itu, saya pikir, ada baiknya kita positive thinking sajalah. Daripada menggerutu karena kemacetan lalu-lintas di pagi hari atau sore hari, kan lebih baik berupaya sedikit tolah-toleh sambil mengapresiasi karya seni para seniman patung kita yang dapat dinikmati gratis di ”Galery Thamrin-Sudirman” itu, setiap kali kita pergi atau pulang kerja.

By the way, sebagai inspirasi bagi kita semua dalam melaksanakan bakti kita pada institusi Bank Indonesia dan negeri tercinta ini, mungkin menarik juga kalau kita coba dalami makna dua bait puisi yang ditorehkan pada tahun 1962 di sebidang lempengan kuningan di dinding ruang lobby Hotel Indonesia (sebelum direnovasi) yang diresmikan Bung Karno pada tanggal 5 Agustus 1962. Puisinya ditulis dengan ejaan lama yang bunyinya begini:
Mega-mega jang disentuh, pudar karena keagungan kerdja
Badai-badai jang ditentang, njisih karena keagungan djiwa
Tiadalah kebahagiaan sebesar kebahagiaan selesai kerja
Tiadalah kelapangan sebesar kelapangan kemenangan djiwa
Dan semua pengabdian diuntukkan bagi keangungan bangsa
Dan semua kelelahan diuntukkan bagi kemuliaan manusia.
Bagus banget kan puisinya? Nah, untuk sedikit mendorong agar kita menjadi semakin tertarik menggali informasi tentang warisan seni dari para seniman patung kita. Di bawah ini sekelumit keterangan singkat tentang Istana Negara, Gedung BI Thamrin, Monas dan beberapa patung yang tampak di sepanjang Galery Thamrin-Sudirman:

1. Istana Negara yang bergaya Yunani kuno dibangun tahun 1796 sebagai kediaman pribadi J.A. van Braam. Pada tahun 1816 bangunan itu diambilalih oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk digunakan sebagai kediaman Gubernur Jenderal. Pada tahun 1848, bangunan itu direnovasi agar tampak lebih kharismatik dan resmi. Gaya bangunan inilah yang dipertahankan hingga sekarang. Istana Negara berfungsi sebagai pusat kegiatan pemerintahan negara. Sejak pemerintahan Hindia Belanda sd sekarang, sudah sekitar 20-an Kepala Pemerintahan yang menggunakan Istana Negara sebagai tempat kediaman dan sekaligus pusat pemerintahan.

2. Gedung Bank Indonesia Thamrin dibangun pada tahun 1958-1962 oleh arsitek F. Silaban yang bekerjasama dengan arsitek H. Groenewengen. Dalam konsep pembangunannya, Bung Karno mengarahkan perlunya wajah baru arsitektur Indonesia. Maka dibuatlah gedung ini dengan corak neo-tradisionalisme, yaitu gedung modern yang mampu beradaptasi dengan alam tropis yang banyak terekspos sinar matahari, angin, dan hujan. Tidak heran jika krawang beton menjadi ciri yang cukup menonjol, karena lubang-lubang kotak-kotak yang cukup besar menjamin masuknya aliran udara segar, mampu menjaga keteduhan dalam ruang kerja, dan melindungi tampias air hujan. Fasad bangunan terdiri dari komponen material yang kuat, seperti batu alam, cor beton, genteng impor dari Belgia, dan talang air dari tembaga, sehingga bangunan memiliki kemampuan untuk bertahan lama.

3. Monumen Nasional (Monas) dibangun mulai tahun 1959 di areal seluas 80 hektar oleh arsitek Soedarsono dan Frederich Silaban dengan konsultan Ir. Rooseno. Diresmikan oleh Bung Karno pada tanggal 17 Agustus 1961. Monas adalah tugu peringatan yang didirikan untuk mengenang perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah dan menginspirasikan semangat patriotisme bagi generasi saat ini dan mendatang. Wujud Monas menggambarkan lingga (alu) dan yoni (lesung) yang merupakan lambang kemakmuran rumah tangga.

4. Tugu Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia berada tepat pada garis axis Utara-Selatan yang menghubungkan Tanjung Priok di Utara dan kawasan Kebayoran di Selatan. Patung dua pemuda-pemudi sedang melambaikan tangan dan memegang buket bunga ini dibuat dari bahan tembaga oleh tim pematung Keluarga Artja yang dipimpin oleh pematung Edhi Sunarso. Tugu ini dibuat dalam rangka persiapan Asian Games ke IV di Jakarta tahun 1962 dengan tujuan untuk melambangkan sambutan hangat pemuda-pemudi Indonesia kepada para tamu. Pada tanggal 22 Juni 2002, memperingati HUT Jakarta ke 475, diresmikan selesainya renovasi piring tugu yang garis tengahnya 100 m itu, dengan hiasan lima air mancur sebagai simbol 5 Sila Pancasila dan sekaligus sebagai lambang 5 ucapan salam, yaitu selamat pagi, selamat siang, selamat petang, selamat malam, dan selamat berhari minggu.

5. Patung Pemuda Membangun (awas, bukan patung Ibnu Sutowo atau the pizza man), terletak di Bundaran Senayan, dibuat oleh team pematung yang tergabung dalam Biro ISA (Insinyur Seniman Arsitektur) dipimpin oleh Imam Supardi. Patung ini dibuat dari bahan beton bertulang dicor adukan semen dan bagian luarnya dilapisi bahan teraso. Pekerjaan dimulai pada bulan Juli 1971 untuk diresmikan pada peringatan Hari Sumpah Pemuda Tahun 1971, namun terlambat diselesaikan, sehingga baru diresmikan pada Maret 1972. Makna patung ini adalah mendorong semangat membangun.

6. Patung Arjuna Wijaya atau dikenal juga sebagai Patung Asta Brata di Bundaran BI dibuat oleh pematung Nyoman Nuarta pada tahun 1987 dengan bahan poliester resin. Mengingat bahan ini mudah rapuh jika terkena ultra violet dan karakternya memiliki kesan sintetis, sehingga melemahkan kesan dignity yang diharapkan, maka patung ini direnovasi dengan menggunakan bahan perunggu pada tahun 2003 untuk menandai peringatan Hari Pahlawan 10 November 2003. Patung itu menggambarkan salah satu episode perang Bharatayudha ketika Arjuna harus berperang dengan Adipati Karna yang notabene adalah saudaranya sendiri. Patung ini melukiskan Arjuna sedang menaiki kereta perang yang sedang dipacu oleh saisnya, yaitu Batara Kresna, ditarik delapan ekor kuda yang berlari kencang bagaikan angin. Delapan ekor kuda itu menggambarkan ajaran kehidupan Asta Brata, yaitu mencontoh Bumi, Matahari, Api, Bintang, Samudera, Angin, Hujan, dan Bulan.

7. Patung Panglima Besar Sudirman di kawasan Dukuh Atas, dibuat oleh Sunario, seniman patung dan dosen ITB. Sosok patung perunggu ini di design dengan sederhana. Jenderal Sudirman berdiri tegap menghormat dengan wajah sedikit mendongak ke atas untuk memberi kesan dinamis. Patung ini direncanakan untuk diresmikan pada tanggal 22 Juni 2003 untuk memperingati HUT Jakarta ke 476, tetapi akhirnya mundur menjadi tanggal 16 Agustus 2003. Pendirian patung ini diwarnai unjuk rasa karena sosok Panglima Besar Sudirman sebagai simbol semangat perjuangan rakyat dianggap tidak seharusnya dibuat dengan sikap menghormat, karena seharusnya generasi saat ini dan yang akan datanglah yang memberi hormat kepada beliau.

Selamat bekerja kembali dan tetap KOMPAK selalu.

Sumber: Diolah kembali oleh penulis dari berbagai informasi yang dapat dibaca melalui situs-situs di internet dan disesuaikan dengan alur cerita yang diinginkan oleh penulis.

0 komentar: