Sinar mentari pagi di hari Minggu itu masih sangat lembut. Hujan semalam masih menyisakan titik-titik air yang menempel di dedaunan dan kelopak bunga. Aku sedang mengamati tanaman anggrek koleksiku dan sangat terpesona dengan ciptaan Allah yang namanya bunga anggrek ini. Khususnya yang satu ini, yang baru kemarin aku beli di Pasar Minggu, namanya Dendrobium Lasianthera. Jenis anggrek hasil persilangan dengan kecenderungan warna-warna pastel, seperti semburat kuning kecoklatan atau keunguan, dengan bentuk kelopak bunga keriting. Lasiantheraku ini memiliki gerombol bunga yang cukup panjang, 17 kuntum bunga. Luar biasa indahnya.
Oleh karena bentuk keritingnya itu, masyarakat di Jayapura, Papua, menyebut jenis species anggrek ini sebagai Anggrek Bor, karena bentuk setiap cabang kelopak bunganya memang mirip dengan mata bor yang berulir-ulir. Anggrek Bor ini adalah jenis species yang biasanya dijadikan indukan untuk disilangkan. Varietas derivasinya dijual di kota-kota besar dengan berbagai nama yang biasanya tetap masih diimbuhi kata ”Lasianthera” di belakangnya.
”Bapa ... pohon anggrek ini bagus-bagus, di Indonesia sana tra ada ... beli sudah ...”, katanya lantang dengan dialek kental masyarakat Papua. Ia menawarkan tanaman anggrek yang dibungkusnya dengan selembar karung goni bekas dan digeletakkan di teras rumah yang baru kutempati tiga minggu lamanya. Ya, ketika itu, delapanbelas tahun yang lalu, aku baru saja dimutasikan dari Jakarta ke Jayapura. Daerah potensial di Timur Indonesia yang penuh dengan tantangan untuk berkarya.
Terus terang, waktu mendengar ungkapannya itu aku terhenyak dua kali. Pertama, tentu pada berbagai jenis anggrek hutan yang dihamparkan di depan mataku. Bentuk kelopak bunga dari berbagai jenis species itu memang sangat aneh. Jujur saja, bagiku, bentuknya tidak bisa dibilang bagus, tetapi lebih pas untuk dikatakan aneh. Isteriku bilang, bentuknya menyeramkan. Ada yang menyerupai mata bor, ada yang mirip gurita, ada yang berpola kulit macan tutul, walaupun ada pula yang lucu, berbentuk seperti telinga kelinci. Secara umum, bentuknya serba keriting-keriting. Aku memang tidak pernah melihat macam bunga anggrek seperti itu sebelumnya di Jakarta.
Kedua, tentu atas ungkapan yang terdengar sarkastik pada anak kalimatnya itu”... di Indonesia sana tra (tidak) ada ...”. Darah mudaku berdesir mendengarnya. Aku seperti ditampar, sehingga kupandangi dia cukup lama dengan mata penuh selidik, dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas sambil memperhatikan giginya yang merah karena kebiasaannya mengunyah pinang. Apa aku ini berdiri bukan di tanah air Indonesia? Kok sepertinya aku yang ditugaskan oleh negara dianggap sebagai orang asing?
Sayangnya, ungkapan seperti ini belakangan banyak kali aku dengar, tidak hanya di Jayapura, tetapi juga di kota-kota lain. Akhirnya aku berpikir bahwa kita-kita yang datang dari luar Papua ini harus berintrospeksi untuk mau lebih membaurkan diri dengan masyarakat dan lebih berupaya memahami budaya lokal, serta menjelaskan dengan baik dan dengan bahasa yang bisa dipahami mengenai cita-cita kehidupan berbangsa dan bernegara. Mudah-mudahan, sekarang ini ungkapan senada sudah tidak terdengar lagi.
Setelah ngobrol ngalor ngidul dengannya tentang berbagai aspek kehidupan, mulai dari kehidupannya sehari-hari, keluarganya, pengalaman hidupnya dan banyak hal-hal lain lagi. Tentu juga termasuk tentang ”peranggrekkan”, khususnya harga yang bisa diterima kedua belah pihak. Akhirnya aku memborong semuanya.
Ia membantuku menempatkan tanaman anggrek itu di tempat yang sejauh mungkin mirip dengan di habitat asalnya. Maksudku adalah berkenaan dengan kebutuhan mereka atas kecukupan sinar matahari, keteduhan, dan aliran angin, karena tanpa memperhatikan kondisi habitatnya dengan seksama, anggrek-anggrek species akan sulit tumbuh baik, apalagi untuk mau berbunga. Dari sinilah aku belajar bahwa seperti halnya pada hubungan antar manusia, perhatian dan kasih sayang saja belumlah cukup. Untuk mengembangkan kemampuan seseorang, kita juga harus mampu untuk memahami karakternya, kemampuannya, dan mengarahkan.
Ya, memperlakukan manusia supaya bisa berkarya hebat, ternyata banyak kemiripannya dengan memperlakukan tanaman. Seperti anggrek Phalaenopsis (Anggrek Bulan) butuh keteduhan, kelembaban, dan hembusan udara yang mengalir untuk bisa berbunga indah, berbeda dengan jenis anggrek Vanda Kalajengking yang membutuhkan sinar matahari penuh untuk kebutuhan pembungaannya. Demikian pula halnya untuk jenis tanaman keras. Pohon kelapa, tidak akan tumbuh baik di ketinggian di atas 500 meter dari permukaan laut, ia akan produktif di dataran rendah. Hobby baruku tentang tanaman ini kelak banyak menginspirasikan pola pengembangan sumber daya manusia di unit kerjaku.
Martinus, si penjual anggrek, segera menjadi teman baruku. Ngobrol sambil bekerja bersamanya menata anggrek di taman belakang membuat kami lupa waktu. Ia menceriterakan keindahan Danau Sentani dan alam Gunung Sikloop, lalu dengan nada bersahabat ia mengundangku ke tempat tinggalnya di tepi danau itu dan mengajakku berburu anggrek di hutan perbukitan Gunung Sikloop. Matahari sudah condong ke Barat ketika ia pulang. Aku menitipkan dua bungkus biskuit sebagai buah tangan bagi kelima orang anaknya.
”Ah ... Bapa ... torang (kita) tra usah tengok atas ... torang tengok bawah saja ...”, kata Martinus mengoreksiku yang selalu berjalan sambil terus-terus menengadah mencoba peruntungan mencari anggrek species di ketinggian pepohonan seraya mendaki perbukitan hutan Gunung Sikloop. ”Lah ... bagaimana ... mana bisa, kita kan mau mencari anggrek yang menempel di cabang-cabang pohon ...”, sergahku heran. ”Ah ... nanti torang lihat rumput yang tumbuh di bawah pohon saja. Kalo ada rumput itu, pasti ada anggrek di atas ...”, katanya menceriterakan pengalamannya dengan penuh keyakinan. ”Ya sudahlah yah, kita ikuti saja ... pak Martinus kan berpengalaman”, kata isteriku yang memanggilku ayah. Hari itu ia sangat bersemangat untuk ikut berburu anggrek hutan. Bahkan putriku yang berumur satu tahunpun kami ajak serta supaya ia mulai mengenal alam. Kami ditemani dua keluarga lain, sehingga rombongan kami terdiri dari sepuluh orang, yaitu Martinus dan anak tertuanya Beni, aku, isteri dan putriku, serta rekan sekerjaku, sepasang suami-isteri dengan seorang putrinya yang beranjak remaja, serta sepasang pengantin baru.
”Bagaimana kalau kita bagi kelompok menjadi dua ya pa, bu ...? nanti kita ketemu lagi di tepi sungai ...”, sarannya kepada kami. Kami semua saling berpandangan. Di tengah hutan yang tidak kami kenal, kami harus berbagi kelompok? Uji nyali macam apa ini? Barangkali begitulah pertanyaan yang ada pada benak kami semua. Tapi sinar mata Martinus mampu memberikan keyakinan pada kami. Kami segera mengangguk mengiyakan. Aku sekeluarga berjalan dengan Martinus, sedangkan kelompok lainnya berjalan terpisah bersama Beni yang kira-kira berusia delapanbelas tahun.
”Cuuiit ... ciweuw ... ciweuw ...”, Martinus bersiul beberapa kali menirukan suara burung hutan yang menggema dan menimbulkan echo. Sependengaranku, suara siulan itu sulit dibedakan dengan suara burung asli. ”Cuuiit ... ciweuw ... ciweuw ...”, terdengar beberapa kali suara siulan balasan yang juga sangat mirip sekali dengan suara burung. ”Dorang (mereka) su (sudah) sampe di kali ... dorang ada tunggu”, katanya menjelaskan, seolah-olah siulan-siulan tadi adalah bahasa kode antar mereka. Aku membetulkan gendongan putriku, lalu kami bergegas mempercepat langkah.
”Hoooeeii ...!” Kami berteriak bersamaan dan melambaikan tangan ketika saling melihat dari kejauhan. Benar saja, mereka sudah menunggu di tebing sungai yang sangat jernih airnya. Kami beristirahat sejenak untuk melepas lelah dan saling bercerita tentang pengalaman yang ditemui di perjalanan sekitar duapuluh menit yang saling terpisah itu. Tentu saja ditambahi bumbu-bumbu yang menjadikan cerita semakin asyik untuk didengarkan. Maklumlah, keadaan hati kami masing-masing pada waktu itu terus terang memang diliputi rasa was-was.
”Bapa ... ibu ... tunggu sabantar ... sabar ... sabar ...”, katanya berpamitan. Martinus dan Beni segera menghilang dikerimbunan hijau. Sementara itu kami bercengkrama sambil menikmati suasana alam perawan yang indah. ”Wah, kalau alam seperti ini adanya di sekitar Jakarta, pasti sudah habis dibeli orang Jakarta ...”, kata temanku berseloroh tentang ketamakan orang-orang kaya di Jakarta.
”Bapa ... ibu ... su dapa (sudah dapat) ... disana ... ayo ...”, Beni memberi kabar baik sambil mengarahkan telunjuknya. Kami lalu segera berdiri dan jalan mengikutinya. ”Heei ... Beni ... ko (kamu) jangan cepat-cepat ...!”, teriakku pada Beni yang sangat lincah mendaki dan melompati bebatuan besar. Sebagai anak alam, ia sangat menguasai medannya. Sedangkan kami, ooo ... kami harus tertatih-tatih, bantu membantu saling menarik tangan.
”Lihat itu ...”, Martinus menunjukkan rumpun anggrek hutan yang berbunga menempel di cabang-cabang pohon. ”Kalau ada rumput ini, yang ini, dan yang itu, pasti dia ada di atas ... Torang tra usah tengok-tengok atas terus ... lihat bawah saja ...”, katanya seolah membenarkan teorinya. ”Hebat juga orang ini ...”, pikirku. Ya, mungkin seorang biolog belum tentu punya kemampuan mengenali alam vegetatif seperti dia.
”Bagaimana mengambilnya pak ... pohonnya besar begini ... dan tinggi sekali ....”, tanya isteriku sambil mendongakkan kepalanya. ”Ah ... itu mudah saja ibu ...”, jawab Beni. Benar saja, selang tak berapa lama, Beni sudah di atas dahan yang tinggi. Sebagai anak alam, ia diwarisi keahlian tentang bagaimana menyiasati alam yang sulit ditaklukkan. Rupanya mereka telah membekali diri dengan semacam tali yang terbuat dari rotan. Tali rotan itu dilingkarkan di batang pohon dan pergelangan kakinya dimasukkan dalam lingkaran tali itu. ”Ooo ... begitu rupanya caranya naik pohon tinggi ... ck ... ck ... ck ...”, semuanya berdecak kagum melihat teknik memanjat yang diperagakan.
Dengan gembira kami berjalan pulang menuruni bukit. Sengatan sinar matahari tak terasa karena kerindangan pepohonan. Sekarung anggrek hutan cukup sudah untuk dibagi tiga. ”Tadi, torang su lihat mereka di tempatnya tumbuh, jadi begitu nanti taruhnya di rumah. Yang keriting ini mau panas, yang kribo ini kurang mau panas, dan yang menjulur ke bawah ini mau ada angin ...”, Martinus mengingatkan kami. Ia tak ingin anggrek-anggrek yang diambilnya di hutan tadi lantas mati sia-sia begitu saja.
Tak terasa hari sudah semakin sore. Kamipun berpamitan dengan keluarga Martinus. Sambil mengemudikan mobilku yang ber-AC, aku masih memikirkan Martinus dan keluarganya. Ia yang harus mampu menghidupi keluarganya dalam keadaan serba kekurangan. Tinggal di rumah panggung yang terbuat dari batang-batang kayu dan berdindingkan papan-papan tipis beratapkan campuran seng tua dan ilalang kering. Ia yang harus mencari sagu di hutan sagu yang jauh untuk keperluan makan, menombak ikan di danau untuk lauknya, memanjat pohon pinang untuk bisa mengunyah pinang, dan mencari anggrek hutan untuk menambah penghasilannya. Tanpa televisi, tanpa kulkas, namun sinar matanya dan air mukanya selalu saja menunjukkan keceriaan. Baginya harta memang bukanlah segalanya.
0 komentar:
Posting Komentar