"Kita pernah merasa sangat bangga menjadi pegawai BI, dan seharusnya rasa itu tetap kita miliki"

(Agus Santoso)

Pilot-Pilot: Kesempatan Yang Kedua


Kami adalah dua batang Pilot. Aku berwarna merah dan temanku berwarna hijau. Kami adalah sisa dari selusin ballpoint Pilot yang terpajang di etalase KOPMA, toko koperasi mahasiswa, di kampus terkenal di negeri ini. Karena hanya tinggal berdua di kotak kami, kami menjadi akrab dan sering bertukar cerita. ”Ah, mudah-mudahan aku diambil mahasiswa yang memiliki idealisme tinggi yang kelak akan menggunakanku untuk menorehkan pemikiran-pemikirannya untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat”, aku mencoba mengatakan harapanku pada siang yang ramai itu. ”Ya, aku juga punya harapan yang sama denganmu. Coba harapan kita itu bisa betul-betul terwujud menjadi kenyataan ya ...”, timpal Ijo temanku.

Rupanya itu adalah pembicaraan kami yang terakhir sebelum kotak kami dikeluarkan dari etalase. ”Nah, gue yang merah ya”, kata calon tuanku, ”Ok, gue yang ijo”, kudengar temannya berkata. Segera saja kami berdua berpisah, masing-masing masuk ke dalam saku kemeja mereka. Dari obrolannya, mereka rupanya dua sahabat yang besok akan diwisuda menjadi sarjana. Kami masih bisa saling pandang sebelum akhirnya harus berpisah di tempat parkir motor. ”Met berjuang menjaga idealisme dan sampai ketemu lagi my friend”, teriakku pada si Ijo. ”Ok friend, met berjuang juga dan mudah-mudahan kita jumpa lagi, take care”, teriaknya parau ditengah deru suara motor tua.

Duapuluhlima tahun telah berlalu. Aku masih si Pilot Merah, tentu saja sudah semakin tua, tetapi masih tetap setia digunakan oleh tuanku, seorang pejabat yang memiliki kewenangan besar. Dibandingkan duapuluhlima tahun yang lalu, kerjaku sudah jauh lebih ringan. Dulu aku digunakan untuk menulis rancangan konsep-konsep yang panjang, tetapi kini, aku hanya digunakan untuk tandatangan atau hanya untuk menorehkan koreksi kecil-kecil, seperti salah ketik yang sangat mengganggu.Walaupun dulu aku dipekerjakan dengan berat sehingga terasa sangat letih, namun aku sangat bangga, karena aku merasa ikut memberi sumbangsih bagi negeri ini, menelorkan berbagai kebijakan strategis untuk menjaga hasil keringat rakyat dan mencegah rakyat menangis. Sampai dengan beberapa waktu yang lalu, aku masih sangat bangga, selalu digunakan umtuk menandatangani berbagai dokumen untuk tujuan mulia. Tetapi tidak lagi untuk akhir-akhir ini.

Sudah beberapa kali aku merasa digunakan untuk keputusan yang menurutku ”aneh”. Untuk itu aku sudah mencoba mengingatkan tuanku dengan cara mencoba membandel. Aku enggan mengeluarkan tintaku. Tuanku sampai harus menorehkanku di sebidang kaca berkali-kali. Aku merasa sakit sekali. Kadangkala aku mampu bertahan untuk membandel dengan hanya mengeluarkan deritan, tetapi seberapalah kuatnya aku, sehingga akhirnya toh terpaksa juga harus mengeluarkan tintaku untuk dapat digunakan menandatangani sesuatu yang menurutku ”aneh” tadi.

Aku yang dulu berada di dalam saku kemejanya sendirian, sudah limabelas tahun ini seringkali berdua bersama kacamata. Ya, tuanku sudah lama harus dibantu kacamata minus. Akhir-akhir ini seringkali kami ditemani satu benda lain lagi, yaitu kartu nama yang bergonta-ganti setiap hari, yang dimasukkan ke saku kemeja tuanku. Padahal sebelumnya kartu-kartu nama seperti itu dikumpulkannya di kotak yang ada di meja kerja di kantor, tidak pernah dikumpulkan di laci meja kerjanya di rumah. Rasanya, kebiasaan baru ini yang mungkin membuat tuanku menjadi berubah agak aneh.

Hari-hari terasa semakin berat untukku. Sebagai ballpoint, aku bisa merasakan getaran tangannya yang aneh apabila aku akan digunakan untuk hal-hal yang melenceng. Aku pernah mencoba mengingatkan tuanku dengan cara berteriak kuat-kuat kepadanya, tetapi ia sepertinya tuli. Akhirnya aku menemukan caraku yang kurasa cukup jitu, yaitu membandel. Ya, membandel, mengapa tidak? Karena hanya dengan cara itulah aku bisa mencoba mengingatkannya bahwa ia mengambil keputusan yang keliru. Tapi, alih-alih tersadarkan, malah sekian kali itu pula ia menyiksaku dengan menggores-goreskan aku berkali-kali ke sebidang kaca sampai aku menderit-derit. ”Ah, tuan ...”, bisikku lirih, ”Apakah tak kau rasakan bahwa aku mencoba mengingatkanmu?”. ”Please, dont do it, master ...”, pintaku. Tetapi ia tetap meneruskan dan seolah-olah semakin merasa tak bersalah melakukannya. Semakin sering tuanku memaksa, semakin sering pula aku membandel. Firasatku mengatakan, sebentar lagi pasti ia membenciku dan aku dibuang.

Siang itu lagi-lagi aku merasakan getaran tangannya yang aneh, maka terpaksa aku mencoba membandel lagi. Beberapa kali ia ingin menuliskan sesuatu, aku membandel, tak setitik tintapun kukeluarkan. Tuanku rupanya habis kesabarannya. Hal yang kutakutkan akhirnya benar-benar terjadi. Dengan marah, aku dicampakkan di tempat sampah. Perasaanku galau, sedih bercampur lega.

Sedihnya, karena aku harus berpisah dengan tuanku yang sudah bersamaku selama duapuluhlima tahun. Lebih sedih lagi, karena aku tahu betul bahwa idealismenya kini telah ditinggalkannya. Sedangkan leganya, karena aku sudah nggak ikut-ikutan digunakan sebagai sarana untuk ”meracuni” kebijakan yang diputuskannya. Kelegaan yang harus diiringi air mata, karena aku ternyata sama sekali tak memiliki kemampuan untuk mencegah semua itu terjadi.

Rupanya tidak lama aku harus meratapi diri sebagai barang yang terbuang. Sore itu juga aku sudah dipulung oleh seorang cleaning service. Ia membersihkan diriku, mencoba menorehkanku di telapak tangannya yang kasar, lalu memasukkan ke kemejanya yang sudah tua. Ia membawaku pulang ke rumahnya yang sederhana. ”Du ..., Badu ...”, teriaknya memanggil nama anak lelakinya. ”Ini bapak punya ballpoint untukmu ...”, katanya sedikit membungkuk sambil menunjukkanku kepada Badu.. ”Wah, bagus ya pak, ballpoint merah ini untukku kan pak?”, pintanya sambil meraihku dari genggaman bapaknya. Matanya yang masih polos berbinar senang ketika memandangi aku. ”celetak ...celetek ... celetok ..”, akupun berbunyi riang, ketika Badu mencoba memainkan aku.

Dengan senang hati, kukeluarkan tinta biruku ketika ia mencobaku, menorehkan aku di selembar sobekan kertas kusut. ”Aku mau pakai ballpoint ini untuk sekolah ya pak”, ujarnya. ”Iya, sekolahlah dengan semangat ya nak, bapak hanya bisa mendoakan kamu supaya jadi orang yang berguna bagi nusa, bangsa, dan agama”, katanya berharap seraya memberi nasehat. Badu lantas berlari riang keluar rumah dan segera bergabung dengan kerumunan teman-teman mengajinya di teras mushola. ”Aku punya ballpoint baru nih, dikasih bapakku”, katanya dengan bangga sambil mengacungkan aku di depan teman-temannya. ”Eh, sama banget dengan punyaku lho ...”, sahut Muntu. Teman Badu itu lalu segera berlari ke arah rumahnya. ”Nah, ini dia”, kata Muntu sekembalinya di teras mushola sambil menunjukkan ballpoint-nya kepada Badu dan teman-temannya yang lain. ”Lho ... Jo ... Ijo ... Ijooo ...”, teriakku terkejut melihat ballpoint hijau yang sangat mirip dengan teman lamaku itu. ”Itu kamu kan Jo ...”, tegasku memastikan. ”Lho ... Rah ... iya, ini aku Rah ..., kamu kok ada di sini Rah ... nggak nyangka kita bisa ketemu lagi Rah ... setelah sekian lama ...”, teriaknya parau menunjukkan rasa kegembiraannya.

Kami segera mencoba bertukar cerita tentang perjalanan hidup yang dialami. ”Kok kamu bisa sampai di sini ...?!”, sergah kami berdua bersamaan. ”Aku dibuang ...”, kata kami hampir bersamaan lagi. ”Ha ... ha ... ha ... dibuang ...?”, kami berdua tertawa. Aneh ya, kami bisa menertawakan nasib jelek kami sendiri.

”Kenapa dibuang, Jo?”, tanyaku. ”Aku ... eh aku ... hanya berusaha mencoba mempertahankan idealisme ...”, katanya terbata-bata. ”Sama Jo ..., aku juga ...”, kataku dengan suara bergetar. ”Ternyata menjaga diri untuk mampu tetap mempertahankan idealisme itu sulit sekali ya Jo ...”, aku mencoba menyimpulkan jalan hidup kami. ”Iya Rah ...”, katanya seraya menerawang ke masa silam. ”Sama sekali tidak mudah ..., kita berdua sepertinya telah gagal mengantarkan tuan-tuan kita menjadi orang bijak. Tapi sepertinya sekarang kita masih diberi kesempatan yang kedua ...”, imbuhnya dengan nada suara penuh harapan. ”Ya ...”, jawabku mantap sambil menatap satu-persatu wajah anak-anak harapan bangsa yang duduk rapi di kelas mengaji di depan kami.

”Semoga saja Badu dan Muntu mampu menjaga idealismenya dan bisa membawa perubahan, walaupun kita tidak lagi bisa menjadi saksi perubahan itu”, jawabku pasrah. ”Ha ... ha ... ha ..., ya iyalah Rah ..., lihat ujungmu saja sudah retak, dan aku, lihatlah ... bagian atasku juga sudah retak ...”. Belum lagi kami selesai membahas harapan baru, Badu dan Muntu meraih kami berdua. Celetak ... celetek ... dan mereka berdua lantas sibuk menuliskan kalimat-kalimat bijak yang diajarkan guru mengaji. Mudah-mudahan di kesempatan kedua ini harapan kami pada generasi baru ini bisa terwujud.

Jakarta, 25 Desember 2009

0 komentar: