Hari menjelang sore, ketika jeep yang kami tumpangi memasuki wilayah Patrol. Suatu daerah di wilayah Kabupaten Indramayu. Di sisi kiri dan kanan jalan tampak hijau ditumbuhi tanaman berumpun yang terlihat tak tertata yang bentuknya menyerupai rumpun tebu. Saya tak tahu pasti jenis tanaman apa itu sebenarnya.
Sayapun bertanya kepada pengemudi yang sepertinya hafal betul dengan daerah ini. “Ini tebu jenis apa sih pak, seperti tebu tapi kayaknya bukan ...”. “Oo ... ini bukan tebu pak, ini rumput gelagah ... ya sejenis alang-alang tapi besar ...”. jawabnya, dan meneruskan: “Kemarin (entah kapan pastinya) ada Bupati yang dicopot pak Harto, karena ketika di helikopter pak Harto menanyakan hamparan hijau di bawah sini, dijawab tanaman tebu, tapi ternyata ya ini, gelagah, pak Harto marah ...”.
Ya, penggalan cerita itu memang terjadi hampir duapuluhlima tahun yang lalu. Ketika itu Bank Indonesia masih menyalurkan berbagai skim kredit yang didukung dengan kredit likuiditas Bank Indonesia, diantaranya KUT (Kredit Usaha Tani) dan KIK/KMKP (Kredit Investasi Kecil/Kredit Modal Kerja Permanen) untuk sektor pertanian, skim kredit kecil untuk membantu para petani, baik dalam rangka pembuatan/pencetakan sawah, pembiayaan usaha tani, pemeliharaan padi dan sebagainya. Karena tugas itulah, maka pada waktu itu saya ditugaskan sebagai anggota tim pemeriksa kredit itu. Kali ini ya ke kabupaten Indramayu itu, untuk memeriksa realisasi dan keragaan KIK Massal Traktorisasi. Suatu skim kredit massal dalam rangka modernisasi dan meningkatkan hasil pertanian tanaman pangan, khususnya padi.
Jeep berguncang-guncang jalannya, maklum karena jalan pedesaan di wilayah itu tidak mulus. Cukup lama juga kami melewati hamparan gelagah yang sepertinya menjadikan tanah kurang produktif. Barulah selepas magrib, ketika hari sudah gelap, tibalah jeep kami di tanah lapang. Di tepi lapangan itu tampak bayang-bayang perumahan penduduk dengan lampu yang tidak terlalu terang.
Baru saja kami bersiap turun dari jeep, ketika kami sadari ada banyak orang berlarian menuju mobil kami dengan tangan menggenggam berbagai peralatan, seperti golok, bambu, tongkat pemukul. Kami jadi terkesiap, tetap duduk diam di mobil dan mengurungkan niat untuk turun. Dengan bahasa daerah, pengemudi kami berusaha menyapa dan menjelaskan kedatangan kami. Perlahan tapi pasti, terlihat urat di wajah dan di tangan yang semula menonjol pada kerumunan belasan lelaki itu mengendur tak terlihat lagi. Dengan ramah, mereka membantu kami turun dari mobil dan mengiringi kami menuju ke rumah pak Lurah guna melaporkan rencana kerja tim.
Usut punya usut, ternyata pak Lurah baru saja selesai menyelenggarakan hajatan pesta nikah putrinya. Pada minggu sebelumnya, ternyata salah satu rumah sang empunya hajat walimah disatroni perampok yang kebetulan menumpang jeep berwarna biru tua juga, sehingga pada malam setelah hajatan, rumah sang penyelenggara dijaga ketat, supaya kejadian serupa tidak terulang lagi. Oalah rek ... kalau saja terjadi kesalah pahaman bisa matek. Untung semua akhirnya berjalan lancar.
Berbekal Daftar Nominatif Kredit, dibantu Pak Mantri Kredit dan Pak PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) setempat, kami berbagi tugas untuk melakukan cek fisik, melihat kondisi sawah dan kondisi traktor yang dibiayai kredit. Bener-bener ada barangnya apa tidak, atau sudah rusak, atau malah cuma kredit fiktif belaka. Barangnya nggak ada, uangnya habis ditilep.
Kamipun mulai bekerja. Alamat pertama berhasil dijumpai dengan cukup mudah. Ibu debitur penerima kreditnya juga berhasil kami temui. “Kelektorna nuju aya di serang pa .... caket ragasi ...”, katanya menjelaskan sambil menunjuk ke arah Utara, ketika kami menanyakan dimanakah traktornya. Tanpa ba-bi-bu lagi, temanku langsung menimpali dengan nada tinggi: “Haah, di Serang bu ...? Emangnya Serang itu dekat dari sini apa? Serang kan jauh bu ..?!? Dibawanya pake apa ...? Kapan traktornya dikembalikan lagi ke sini ...? ”.
Sebelum kacau semuanya, saya segera menukas untuk menjelaskan padanya bahwa “serang” itu artinya sawah, jadi maksud ibu itu adalah traktornya saat ini sedang dikerjakan di sawah yang letaknya di dekat saluran irigasi. “Oo ... begitu toh maksudnya ...”, timpalnya, “Kirain ... dibawa ke daerah Serang, Banten sana .... kan jauh banget tuh ...”, imbuhnya sambil senyum. “Oke, nanti kita lihat ... apanya itu bu ....?”, tanya kami. “Iya pa, boleh .... itu ... kelektorna ibu...”, ujar si ibu bersemangat.
Alamat kedua juga tidak sulit, tidak jauh dari rumah yang pertama. “Assalamualaikum ... punten ... sampurasun ....”, kami setengah berteriak permisi kepada pemilik rumah. Hening, tak ada jawaban. Kami masih celingak-celinguk pancalongok ketika tiba-tiba terdengar suara perempuan berapi-api. “Bapak-bapak dari bank ya ...? Ya ... itu ... tangkep aja mas Bambang itu pak ... dia ngakunya bujangan taunya sudah punya bini dimana-mana ... itu ngambil kridit kelektor pake katepenya (KTP) saya pak ... keletornya udah dijual, duitnya nggak tau kemana ...
Ini liat sini pak ...”, ajaknya kepada kami untuk memasuki rumahnya. “Liat ini pak ... kalo dia ke sini ... cuma minta duit sama saya pak ... kalung saya ini mau dirampas ... kalo nggak dikasih ... liat ini pak ... pintu kamar dibacokin pake golok sama dia ....”, katanya mengadu seraya menunjukkan pintu kamar yang penuh dengan bekas bacokan benda tajam.
Ibu belia ini menggendong anak balita laki-laki yang kakinya terlihat terkena polio dan menggandeng seorang bocah perempuan yang cantik parasnya. “Ibu ini siapa ...”, tanyaku. “Ya, saya ini yang namanya pastinya tercatat di daftarnya bapak-bapak ini, saya ini istrinya mas Bambang. Dia katanya PPL di desa sebelah ... saya mau cerai sama dia pak, dia bikin susah saya dan keluarga saya. Dia saja yang ditangkep pak ... saya mau pergi, kerja di Kramat Tunggak untuk penghidupan anak-anak ini ... banyak temen saya kerja di sana, katanya nyari duit di sana gampang ... apa bener ya pak ...”, ujarnya sangat polos.
Banyak sekali persoalan hidup yang harus ditanggung petani di negara ini. Belum selesai soal benih padi bermutu rendah, sehingga hasil panen tidak pernah optimal. Pupukpun langka dan kalaupun ada harganya mahal. Ditambah lagi dengan cuaca dan iklim yang tidak bersahabat, serta hama yang selalu mengancam. Masih lagi dihimpit persoalan ekonomi, biaya berobat yang tak terjangkau, biaya pendidikan anak yang tinggi, serta berbagai persoalan dan masalah keluarga. Kasihan sekali mereka. Padahal pada tangan-tangan merekalah kita-kita ini menggantungkan pemenuhan kebutuhan beras untuk makan kita sehari-harinya.
Untuk memperbaiki keadaan keuangan keluarga di desa itu. Tim kami bermaksud menyelenggarakan forum dialog terbuka dan konsultasi. Untuk suksesnya acara, kepada pihak kelurahan disampaikan harapan agar kaum lelaki dan wanita bisa datang semua pada acara itu. Ketua Tim kami menyampaikan: “Pak Jurutulis, tolong ya supaya semuanya bisa datang. Berdasarkan pengalaman, kalau bapak-bapak biasanya datang semua, tapi ibu-ibunya biasanya kurang, tolong ibu-ibunya di-approach ya pak ...”. “Baik pak, pasti saya laksanakan ..”, katanya menyambut. “Crystal clear ...“, pikirku, pasti besok siang bakalan rame yang datang.
Acara siang itu sepertinya bakal berlangsung sukses, terlihat bapak-bapak berdatangan. Ada yang sendiri-sendiri, berkelompok kecil, tapi ada juga yang datang dalam kelompok yang agak besar, empat sampai lima orang secara bersamaan.
Tapi, “Lho ... kok nggak ada seorang ibupun yang terlihat ... aneh ...”, kataku pada Ketua Tim-ku. “Belum kaleee ... ntar juga pada datang ... mungkin masih kepagian ...”, katanya dengan pede. Tapi benar saja, waktu terus berjalan. Sampai tiba saatnya, tak satupun ibu-ibu dari desa itu yang tampak hadir. “Lho ... ada masalah apa ini ... coba cari tahu sana ...”, kata Ketua Timku kepadaku merespon keadaan itu.
Akupun segera mendatangi pak Jurutulis. Iapun bingung dengan situasi itu dan langsung mengajakku ke rumah Ibu Ketua PKK. “Punten bu ...”, kataku memulai pembicaraan. “Ini kok ibu-ibunya nggak ada yang hadir di Balai Desa ya bu ... kami menunggu kehadiran semua ibu-ibu lho bu ...”, pintaku (mungkin sudah dengan nada memelas). “Aduuh ... punten pa ... ibu-ibu di sini teh takut ... karena belum tahu itu maksudnya mau diapakan itu ... yang kata pak Tulis itu ... mau diemprut itu ... maksudnya diapakan itu teh ...”, jawabnya dengan suara kebingungan.
“Lho pak, memangnya pesan yang Bapak sampaikan kepada ibu-ibu teh apa pak ...”, tanyaku mencoba meng-cross-check. “Ooh ... ya itu pak .. seperti perintah Bapak Ketua Tim kepada saya kemarin. Saya sampaikan kepada ibu-ibu bahwasanya besok siang ini ibu-ibu mau diemprut sama Bapak Ketua Tim dari bank ... begitu kan pak ... apa ada yang salah pak ... betul kan pak ...?”, tanyanya meminta konfirmasi saya.
“Pak .. eh ... bu ... punten nih, sepertinya ada yang kurang pas nih pak ... bu ..., maksudnya Bapak ketua Tim itu ... ibu-ibu di sini tolong didekati dan dijelaskan mengenai acara kita ini. Di-approach supaya hadir pak, di-approach ... maksudnya dijelaskan, didekati, diajak supaya hadir di acara hari ini pak ... begitu pak, bukan mau diemprut pak ... apa itu pak diemprut .... waduh pak ... eh ... bu ... bagaimana kalau kita segera jelaskan ulang saja bahwa acara ini adalah acara silaturahmi dan ngobrol-ngobrol untuk mengupayakan peningkatan pendapatan keluarga dan perekonomian desa begitu lho bu ... pak ...”.
"Kita pernah merasa sangat bangga menjadi pegawai BI, dan seharusnya rasa itu tetap kita miliki" (Agus Santoso) |
0 komentar:
Posting Komentar